Sebagai
Negara beriklim tropis yang memiliki daratan dan lautan yang luas Indonesia
memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kelimpahan hasil tersebut terutama
dalam bidang pangan. Pemanfaatan secara optimal sumber daya alam seharusnya
sudah dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan harian seluruh negeri. Faktanya,
setiap tahun Negara kita masih terus melakukan berbagai impor bahan makanan.
Salah satu bahan makanan yang terus menerus masih diimpor adalah kedelai.
Kedelai
merupakan bahan utama untuk pembuatan makanan tradisional favorit seluruh warga
Indonesia yaitu tempe dan tahu. Pesatmya perkembangan makanan modern tidak
menjadikan tahu dan tempe kalah saing. Harganya yang relatif murah dan tetap
memiliki rasa lezat menjadikan kedua makanan ini dapat dengan mudah ditemui
dari pasar kecil (tradisional) hingga pasar modern (super market). Namun, tingginya
permintaan pasar ternyata tak sejalan dengan hasil produksi kedelai di
Indonesia. Menurut BPS tahun 2015 produksi kedelai di Indonesia hanya mencapai
998 ton pertahun, sedangkan kebutuhan kedelai mencapai 2,3 juta ton sehingga
masih harus mengimpor 1,4 juta ton kedelai lagi. Imbasnya harga kedelai terus
mengalami kenaikan setiap waktu. Menurut
Dirjen PDN (Perdagangan dalam Negeri) harga kedalai pada bulan September
2015 sudah mencapai 7.000-8.000 rupiah perkilogram.
Tingginya
harga kedelai tersebut secara otomatis akan mempengaruhi harga dan kualitas
dari tempe dan kedelai itu sendiri. Semakin hari harga kedua makanan tersebut
terus mengalami kenaikan. Jika dibiarkan lambat laun kedua makanan ini tidak
dapat terjangkau oleh masyarakat golongan menengah ke bawah. Salah satu
alternatif yang pernah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan peningkatan hasil
produksi kedelai dalam negeri, namun hal ini kurang berhasil karena tanaman
keluarga kacang-kacangan ini cukup sulit perawatannya (mudah terserang hama). Solusi
lain telah berhasil digagas oleh Maisel Priskila Sisilia dan Deni Aryati. Kedua
alumni Universitas Negeri Yogyakarta ini telah melakukan penelitian bahan
alternatif pengganti kedelai yaitu dengan Kara Benguk.
Kara Benguk (Mucuna pruriens) |
Kara
benguk yang memiliki nama ilmiah Mucuna
pruriens ini termasuk dalam kingdom (keluarga) kacang-kacangan. Tanaman
pangan ini melimpah ditemukan di kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Wilayah
Gunungkidul yang kars dan cukup kering ternyata sesuai untuk habitat hidupnya. Penanaman
kara benguk tidak memerlukan perawatan khusus, saat tunas sudah tumbuh dapat
dibiarkan dan akan tumbuh subur dengan sendirinya.
Berdasarkan
uji laboratorium yang telah mereka lakukan pada tahun 2012 (menggunakan sampel
tahu) diperoleh hasil yaitu, perbandingan kandungan protein pada tahu kedalai adalah 12% sedangkan
prosentase kandungan protein pada tahu kara benguk yaitu 3%. Prosentase
kandungan lemak pada tahu kedelai adalah sebesar 5% sedangkan pada tahu kara
benguk adalah 0,1% lebih rendah dari pada tahu kedelai. Nilai tambah dari
kandungan kara benguk yang tidak terdapat pada kedelai adalah dengan adanya
kandungan kalsium sebesar 0,3%. Uji
responden (menggunakan sampel tahu dan tempe) menujukkan bahwa tahu dan tempe
dari kara benguk memiliki rasa yang enak dan tidak jauh berbeda dari bahan
kedelai.
Hasil penelitian tersebut menujukkan bahwa
kara benguk memiliki potensi yang dapat menggantikan peran kedelai sebagai
bahan utama pembuatan tahu dan tempe. Perawatan yang baik pada tanaman tersebut
tentu akan semakin meningkatkan hasil panen dan nilai gizinya. Sebenarnya masih
banyak lagi alternatif untuk saling menggantikan bahan pokok dalam bidang
pangan di Negeri ini. Kita tidak boleh hanya terpaku pada bahan-bahan yang sudah ada, namun terus
berinovasi untuk menemukan bahan-bahan lainnya. Hal ini tentu tidak akan sulit
dilakuan karena Indonesia merupakan negara yang kaya dengan Sumber Daya Alam. Jika
SDA di negeri ini dapat dimanfaatkan
secara optimal maka sudah dapat dipastikan kita tidak perlu lagi mendatangkan
bahan dari Negara lain, busung lapar akan jauh dari berita koran dan televisi.